Tradisi Caci: Menyingkap Keberanian dan Filosofi di Balik Tarian Perang Suku Manggarai, Flores

Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, kaya akan warisan budaya yang mendalam, salah satunya adalah Tradisi Caci, tarian perang ritualistik yang berasal dari Suku Manggarai. Lebih dari sekadar pertunjukan fisik, Tradisi Caci adalah ritual keberanian, kehormatan, dan rekonsiliasi yang menjadi inti identitas masyarakat Manggarai. Tarian ini menampilkan pertarungan tunggal antara dua penari pria yang dipersenjatai dengan cambuk (pecut atau larik) dan perisai kulit (ngiling). Bagi masyarakat Manggarai, melestarikan Tradisi Caci adalah upaya untuk menjaga keseimbangan kosmos, memastikan keberkahan panen, dan mengajarkan nilai-nilai luhur kepada generasi muda, yang merupakan bagian dari pencapaian kemandirian finansial budaya dan sosial.

Filosofi mendalam Tradisi Caci terletak pada makna simbolik setiap elemennya. Cambuk, yang terbuat dari kulit kerbau atau sapi yang dikepang, melambangkan kejantanan dan keberanian. Luka yang ditimbulkan oleh cambukan pada punggung atau tubuh lawan dianggap sebagai pengorbanan suci. Darah yang tumpah dipercaya berfungsi sebagai persembahan kepada leluhur dan Dewi Bumi (Ina Nggai) agar memberikan kesuburan dan hasil panen yang melimpah, khususnya panen padi dan kopi. Sebaliknya, perisai (ngiling) melambangkan perlindungan dan sisi kewanitaan. Sebelum pertarungan dimulai, kedua petarung dan semua perlengkapan mereka diberkati dalam upacara doa yang dipimpin oleh tetua adat (tu’a golo).

Tradisi Caci tidak dilakukan tanpa tujuan; ia terikat erat dengan siklus pertanian dan perayaan adat. Paling umum, Caci diadakan sebagai bagian dari upacara syukur panen (Penti), pernikahan, atau sebagai ritual penyambutan tamu penting. Sebagai contoh spesifik, petugas adat di Desa Adat Compang Ruteng telah menjadwalkan pelaksanaan Caci besar pada hari Sabtu, 28 September 2024, sebagai puncak dari perayaan Penti tahunan. Durasi setiap putaran pertarungan diatur dengan ketat, dan pertarungan dihentikan oleh petugas keamanan adat jika terjadi cedera serius atau jika salah satu pihak menyerah. Aturan mainnya jelas: sasaran cambukan harus dihindari dengan perisai, dan pukulan hanya ditujukan pada tubuh, tidak pada bagian kepala.

Selain fungsi ritualistiknya, Caci juga berfungsi sebagai arena rekonsiliasi dan pelepasan ketegangan sosial. Luka yang ditimbulkan di arena adalah simbol dari semua konflik atau perselisihan yang terjadi antar-desa atau antar-individu. Setelah pertarungan usai, kedua belah pihak diwajibkan untuk saling berpelukan dan mengobati luka satu sama lain, melambangkan pengampunan dan pemulihan persatuan. Ini menunjukkan bahwa meskipun terlihat seperti perkelahian, esensi Caci adalah persaudaraan. Kehadiran berbagai pihak, termasuk aparat kepolisian dari sektor kecamatan setempat, selama acara berlangsung memastikan ketertiban dan kelancaran prosesi budaya, menegaskan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh Suku Manggarai di Flores.

Tinggalkan Balasan