Seorang oknum anggota kepolisian di wilayah Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), terpaksa menghadapi pemecatan tidak hormat dari institusinya akibat terbukti melakukan pelanggaran berat, yakni Hamili Pacar tanpa ikatan pernikahan yang sah. Kasus Hamili Pacar ini menjadi sorotan, menegaskan komitmen Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) untuk menjaga disiplin dan etika anggotanya.
Keputusan pemecatan ini disampaikan dalam Sidang Komisi Kode Etik Profesi Polri (KKEP) yang diselenggarakan pada hari Kamis, 15 Mei 2025, di Markas Kepolisian Resor (Polres) Manggarai Timur (fiktif, sebagai contoh lokasi di Flores). Anggota polisi berinisial Bripda AA tersebut dinyatakan terbukti melanggar Pasal 7 ayat (1) huruf b Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri, yang berkaitan dengan tindakan asusila dan tidak bertanggung jawab. Pelanggaran ini juga berdampak pada citra institusi kepolisian di mata masyarakat.
Kabid Propam Polda NTT, Kombes Pol. Dr. Rahmat Hidayat (fiktif), dalam keterangan persnya yang diadakan setelah sidang KKEP, menjelaskan bahwa kasus ini berawal dari laporan seorang wanita berinisial SF, yang mengaku telah Hamili Pacar oleh Bripda AA dan kini tengah mengandung lima bulan. Proses penyelidikan dan pemeriksaan telah dilakukan secara transparan dan profesional, termasuk pengumpulan bukti-bukti dan keterangan dari berbagai pihak. Hasil penyelidikan menguatkan adanya pelanggaran etik berat yang dilakukan oleh Bripda AA.
Sidang KKEP memutuskan sanksi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) terhadap Bripda AA. Sanksi ini diharapkan dapat menjadi efek jera bagi anggota kepolisian lainnya untuk senantiasa menjunjung tinggi kode etik profesi dan menjaga perilaku yang baik di dalam maupun di luar dinas. Polri, melalui Divisi Propam, terus berkomitmen untuk tidak menolerir segala bentuk pelanggaran, terutama yang berkaitan dengan moralitas dan tanggung jawab pribadi. Ini adalah bagian dari upaya Polri untuk membangun institusi yang bersih dan profesional.
Sebagai informasi tambahan, kasus-kasus pelanggaran kode etik di tubuh Polri ditangani secara serius oleh Divisi Propam yang memiliki kewenangan penuh untuk melakukan penyelidikan dan penindakan. Proses hukum juga dapat berlanjut ke ranah pidana jika terdapat unsur tindak pidana yang terbukti. Data internal Polda NTT menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2024 hingga Mei 2025, telah ada beberapa kasus pelanggaran etik yang ditindak tegas, menunjukkan komitmen kuat terhadap penegakan disiplin. Pada hari Jumat, 16 Mei 2025, pihak kepolisian juga telah memberikan pendampingan psikologis kepada korban untuk memastikan kesejahteraan dan hak-haknya terpenuhi. Keputusan pemecatan Bripda AA ini merupakan langkah tegas institusi Polri dalam menjaga marwah dan profesionalisme anggotanya.